Untuk mencegah kerusakan hutan dan lahan serta memulihkan kembali fungsi lahan yang kritis diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang sungguh-sungguh. Penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi. Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian dan fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan.
Penilaian kekritisan lahan tergantung pada fungsi lahan yaitu:
1. Fungsi Kawasan Hutan Lindung : kekritisan lahan dinilai berdasarkan keadaan penutupan lahan/penutupan tajuk pohon (bobot 50%), kelerengan lahan (bobot 20%), tingkat erosi (bobot 20%) dan manajemen/usaha pengaman lahan (bobot 10%).
2. Fungsi Kawasan Budidaya untuk Usaha Pertanian : kekritisan lahan dinilai berdasarkan produktifitas lahan, yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum optional pada pengelolaan tradisional (bobot 30%), kelerengan lahan (bobot 20%), tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (bobot 15%), batu-batuan (bobot 5%) dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan (bobot 30%).
3. Fungsi Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan : kekritisan lahan dinilai berdasarkan vegetasi permanen yaitu prosentase penutupan tajuk pohon (bobot 50%), kelerengan lahan (bobot 10%), tingkat erosi (bobot 10%) dan manajemen (bobot 30%).
Kegiatan rehabilitasi lahan kritis telah dumulai sejak tahun 1976 antara lain melalui program bantuan Reboisasi dan Penghijauan (INPRES), kemudian sejak Tahun Anggaran 1994/1995 melalui DIPDA Tingkat II. Sejauh ini upaya-upaya tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan, karena upaya-upaya tersebut hanya terbatas pada aspek teknis dan dikerjakan dalam kerangka sistem keproyekan. Berdasarkan hasil studi terbukti bahwa akar masalahnya adalah aspek kelembagaan yang pada masa lalu belum tertangani dengan baik.
Pada tanggal 31 Januari 2001 dikeluarkan SK Menhut No. 20/Kpts-II/2001, tanggal 31 Januari 2001 tentang standar dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan yang merupakan acuan bagi semua pihak untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan rehabilitasi hutan dan lahan seperti tersebut pada SK Menhut adalah terpilihnya sumberdaya hutan dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS dan mendukung kelangsungan pembangunan kehutanan.
REBOISASI HUTAN LINDUNG
Reboisasi atau rehabilitasi hutan lindung bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan hutan lindung kritis di wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang dilaksanakan bersama masyarakat secara partisipatif. Kepastian ini merupakan prioritas karena sesuai dengan fungsinya.
Kegiatan utamanya adalah penanaman kawasan hutan lindung dengan tanaman hutan dan tanaman kehidupan yang bermanfaat yang dilaksanakan secara partisipatif oleh masyarakat setempat. Penanaman ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat penutupan lahan yang optimal sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, sehingga tercipta keharmonisan antara fungsi hutan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
HUTAN KEMASYARAKATAN
Hutan Kemasyarakatan (HKm) menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan dengan berazaskan kelestarian fungsi hutan dari aspek ekosistem, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik serta kepastian hukum. Sedangkan pemanfaatan hutan adalah bentuk kegiatan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dalam pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Hutan Kemasyarakatan dilaksanakan di seluruh Indonesia, kecuali di Provinsi DKI Jakarta karena tidak adanya kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan. Uraian selengkapnya mengenai HKm dapat diklik pada link ini.
DEFINISI LAHAN KRITIS DAN REBOISASI
Menurut Kamus Rimbawan yang ditulis oleh Ir. Bambang Winarto, MM, edisi September 2003, definisi/pengertian lahan kritis dan reboisasi adalah sebagai berikut:
Lahan kritis adalah:
1. Lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air (Kepmenhut 52/Kpts-II/2001).
2. Lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan (Kepmenhutbun 778/Menhutbun-V/1998).
3. Lahan yang tidak mampu lagi berperan menjadi unsur produksi pertanian, baik sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai perkembangan alam lingkungan (Kepdirjen RRL 16/Kpts/V/1997).
4. Lahan yang tidak produktif dan tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air dan perlindungan tanah, dengan kriteria perkembangan vegetasi kurang dari 25%, ada gejala erosi permukaan dan erosi parit (Kepdirjen 29/Kpts/V/1996).
Reboisasi adalah:
1. Upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan (PP 35/2002).
2. Kegiatan penanaman atau permudaan pohon-pohon dan/atau jenis tanaman lain dan berbagai kegiatan penunjang di dalam kawasan hutan (hutan negara) dan areal lain yang berdasarkan rencana tata ruang atau tata guna hutan diperuntukkan sebagai hutan (hutan tetap) (Kepmenhut 797/Kpts-II/1998).
3. Upaya untuk memulihkan kembali dan meningkatkan produktivitas kawasan hutan yang kondisinya rusak, kosong dan kritis serta tidak produktif dengan cara menanam pohon-pohon agar dapat berfungsi secara optimal sebagai unsur pengatur tata air serta sebagai perlindungan alam lingkungan (Kepmenhutbun 778/Menhutbun-V/1998).
4. Permudaan hutan di dalam kawasan hutan yang dilakukan menurut berbagai sistem silvikultur yang berlaku (Kepdirjen RRL 16/Kpts/V/1997).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar